Minggu, 16 Maret 2014

PEREMPUAN: “Terhimpit Nikmatnya Harta dan Takhta”






“Bekerjalah demi cita-cita dirimu yang hakiki di dunia ini. Jangan sampai kau terjerat oleh bujukan…, nafsumu yang berlebihan pada dunia. Dialah sumber bencana dan kepiluan hidupmu. Selama hanya tubuh yang kau rawat dan kau manjakan, jiwamu tidak akan subur, juga tidak akan teguh. Hawa nafsumu adalah ibu semua berhala.” (Jalaluddin Rumi, Matsanawi).
Yaa Ilaahi, dengan menyebut kesucian nama-Mu, yaa Al-Qudduus.
 
Apa yang bisa dibanggakan oleh seorang muslimah kepada kaumnya sendiri, kepada lelaki, dan kepada dunia?Jawabannya tak lain adalah ketakwaannya kepada Allah (Iman), keluhuran budi pekerti (Akhlaqul Karimah), dan kecerdasan memahami agama (Ilmu dan Amal).
Dalam beberapa hadist, Rasulullahmengingatkan umatnya, agar berhati-hati soal perempuan – harta – takhta. Sebab pengaruh ketiganya cenderung menjadikan seseorang sombong, lupa diri, melanggar perintah agama, hingga melupakan Allah. Menurut pandangan ulama dan sufi, ketiganya bisa membuka pintu-pintu fitnah dan bencana, bila tidak disyukuri dan dimanfaatkan secara benar.
Terdapat dua hal dalam diri perempuan yang menjadi kelebihan dirinya dibanding lelaki.Pertama, kecantikan dan kemolekan tubuh yang diakibatkan oleh kodrat penciptaannya (organ-organ reproduksi). Kedua, sifat lemah lembut, kehalusan perilaku, dan perasaan. Dua kelebihan ini selalu menjadi godaan terbesar bagi lelaki. Terutama yang lemah imannya dan mengartikan tubuh perempuan sebagai barang pemenuhan nafsu syahwat.
Kecantikan dan kemolekan tubuh perempuan adalah karunia Allah. Oleh banyak lelaki, perempuan  dilihat sebagai barang atau materi untuk memenuhi kebutuhan nafsunya. Serupa dengan itu, perempuan melihat kemuliaan dan keindahan dirinya dari kelengkapan anggota tubuh dan kesempurnaannya. Hingga tak salah, bila banyak perempuan lebih tertarik mengurus dan merawat bagian-bagian tubuhnya yang dipandang mampu memberikan daya tarik kepada lawan jenis.
Pandangan di atas sangat salah! Bertentangan dengan tujuan Allah menciptakan perempuan. Diri perempuan tidak bisa disamakan atau diperbandingkan dengan harta dan takhta. Perempuan bukan harta atau barang yang diciptakan sebagai hiasan dan pajangan dan pemuas kebutuhan. Tetapi ia diciptakan untuk menyempurnakan sifat kehidupan dan kehambaan lelaki. Sebagai ciptaan dan hamba, perempuan dan lelaki memiliki kedudukan sama dalam pandangan Allah.
Bicara perempuan, harta menjadi bagian di dalamnya. Dengan harta, perempuan bisa meningkatkan derajat kecantikan dan keindahan tubuhnya. Sebaliknya dengan tubuh cantik dan indah, perempuan bisa mengumpulkan harta kekayaan. Mempercantik dan memperindah tubuh bagi perempuan, tidak dilarang dalam Islam. Malahan Islam menganjurkan perempuan melakukannya dengan tiga alasan utama: mensyukuri karunia Allah, menghargai diri sendiri, dan membahagiakan suami. Yang menjadi masalah, bila semua itu dilakukan tidak mengikuti perintah agama.
Berbeda dengan perempuan, lelaki dikaruniakan oleh Allah, kekuatan dan ketangguhan fisik – dan kelebihannya yang paling utama adalah kesadaran untuk menggunakan potensi akalnya. Lazimnya harta – materi atau barang, ia hanya bisa diperoleh dengan perantaraan penggunaan akal.
Sesuai kodratnya, lelaki bertanggungjawab mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Sedangkan perempuan adalah pengguna – pemanfaat harta suaminya. Kondisi ini banyak kita temui di kehidupan sehari-hari. Meskipun pada beberapa kasus, banyak perempuan mencari nafkah untuk keluarganya akibat berbagai alasan.
Islam menganjurkan umatnya bekerja mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kepemilikan harta membantu seseorang taat beribadah kepada Allah dan mampu melakukan amal saleh. Dalam Islam, harta adalah sarana dan alat untuk melakukan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap harta, bisa menyebabkan seseorang terjerumus menuruti hawa nafsu dan melanggar perintah agama.
Dalam banyak hal, perempuan mengartikan harta sebagai pembentuk cinta kasih. Seorang ibu, memberi makan atau membelikan mainan untuk anaknya, akan diartikan sebagai bentuk cintanya; jika dilakukan seorang ayah, akan diartikan sebagai bentuk tanggungjawab. Seorang perempuan memberi hadiah kepada kekasihnya, akan diartikan sebagai bentuk cinta kepada kekasihnya; jika dilakukan seorang lelaki, akan diartikan sebagai, “kemampuan diri” menyenangkan hati kekasihnya.
Jarang ditemukan, kehidupan perempuan tanpa harta. Seringkali harta menyebabkan banyak perempuan tergelincir dalam lembah kenistaan. Mereka bisa menjual diri agar hidup bergelimang harta. Hanya sedikit perempuan yang mampu menjaga kemuliaan dirinyadari jeratan fitnah harta. Perempuan bisa menjadi royal dengan harta yang dimiliki, bisa juga kikir.
Di dalam hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, terdapat pesan jelas tentang pentingnya memahami tujuan kepemilikan harta: “Harta kekayaan adalah sebaik-baik penolong bagi pemelihraan ketaqwaan kepada Allah.” Dalam hadist  yang diriwayatkan Aththusi,Rasulullah bersabda: “Cinta yang sangatt erhadap harta…, dapat mengikis agama seseorang.”
Takhta adalah kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki seseorang berdasarkan status/jabatan sosial yang diemban. Ada takhta yang diperoleh berdasarkan mandat dan amanah dari banyak orang lain; dan ada juga yang diperoleh tanpa itu atau dengan cara salah, atau pemaksaan kehendak dan pengambilalihan secara paksa.
Takhta sebagai amanah, perempuan dituntut mampu menguasai kelebihan dirinya, kecantikan tubuh dan kehalusan perasaan. Yaitu mampu memelihara kecantikannya dengan tidak menjadikannya sebagai alat penakluk lelaki dan pembanding dengan sesamanya; agar ia mampu menutupi pintu-pintu kelemahan perasaannya dengan potensi akalnya. Ia bisa bijak membedakan dan menempatkan jelas sifat keperempuanan, sifat seorang istri, dan naluri keibuannya.
Terlepas baik buruk cara memperoleh takhta, bila dijalankan tidak sesuai nilai-nilai Ilahi dan kepentingan masyarakat, pasti menimbulkan kemanusiaan. Menjadikan penguasa berlaku sewenang-wenang dan menindas orang lain. Penguasa mementingkan diri sendiri dan keluarga dan kelompoknya saja. Kepentingan orang banyak akan dikorbankan.Malahan dalam banyak kasus, penguasa akan menjadi otoriter dan zalim.
Allah dan Rasulullah tidak melarang perempuan mencari dan memiliki takhta. Kepemimpinan dan kekuasaan bukan hak dan milik lelaki saja. Siapapun dia, mempunyai hak yang sama. Kepemimpinan pada dasarnya adalah kepercayaan. Atau amanah yang diberikan oleh Allah kepada seseorang lewat perantaraan banyak orang lain.
Islam mengharuskan umatnya lebihdulu memiliki iman dan ilmu yang cukup sebelum memegang takhta. Iman akan menjadi cahaya baginya untuk membedakan baik dan buruk – halal dan haram. Sedangkan dengan ilmu ia berjalan menuju kebaikan dan meninggalkan keburukan – melakukan yang halal dan menjauhi yang haram. Keharusan ini bukan tanpa alasan logis. Telah banyak bukti, bagaimana akibat buruk fitnah dan bencana terjadi akibat penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam kehidupan manusia, godaan terbesar lelaki adalah perempuan, kemudian kekuasaan. Sebaliknya, godaan terbesar perempuan adalah kecantikan dan keindahan tubuhnya, kemudian harta. Menyangkut takhta, meskipun perempuan tidak memilikinya, tapi ia pandai menggunakan tangan lelaki sebagai perpanjangan kekuasaannya. Dengan kecantikan dan kemolekan tubuh – rayuan  dan bujukan– kelemahlembutan dan penyayang, perempuan dapat menundukkan seorang lelaki yang berkuasa.
Umumnya dengan kekuasaannya perempuan menggunakannya untuk memperindah dan memelihara tubuhnya. Ia mengelola perasaannya dan mengeluarkannya mengikuti anggota-anggota tubuhnya. Sedangkan lelaki menggunakan kekuasaan untuk menunjukkan jati diri, kehebatan dan kemampuannya kepada orang lain. Perempuan menggunakannya untuk menundukkan dominasi lelaki, menjadikan tubuhnya lebih cantik daripada sesamanya. Lelaki menggunakannya untuk menguasai dan menaklukkan –  mempertegas dan memperkuat dominasinya agar dihormati, disegani, dan ditakuti.
Kenapa dalam penggunaan kekuasaan, terjadi perbedaan menyolok secara psikhis dan pikiran antara lelakidan perempuan? Mengesampingkan teori-teori psikologi, saya dekati perbedaan ini dari sifat dasar perempuan: menggunakan lebih besar perasaan daripada akalnya untuk memutuskan dan menyelesaikan masalah.
Dalam sejarah Islam, kita kenal banyak muslimah kaya raya dan menjadi pemimpin bangsa atau kaumnya. Sebut saja di antaranya, Ratu Balqis (istri Nabi Sulaiman AS), Siti Khadijah RA (IstriRasulullah SAW), Sultanah (dan Laksamana) Malahayati dari Kesultanan AcehDarrussalam… dll.
Terdapat seorang perempuan pemimpin dan dua orang anaknya yang saya contohkan di sini, yaitu: Ibunda Fatimah az-Zahrah serta anaknya Imam Hasan RA dan Imam al-Husen RA.
Pada masa Rasulullah, seluruhpenduduk di Makah dan Madinah dan sekitarnya mengenal dua sosok pemuda yang dihormati dan dimuliakan, Imam Hasan RA dan Imam Husen RA. Keduanya dihormati dan dimuliakan, bukan hanya karena kakeknya Rasulullah SAW dan ayahnya Imam AliRA. Tetapi memiliki keimanan dan ketakwaan yang tinggi kepada Allah, kecerdasan ilmu agama dan ilmu lain, kecakapan memimpin, kebaikan dan kebagusan amal saleh, keluhuran dan kemuliaan akhlak, dan ketampanan wajah dan keindahan tubuh.
Lazimnya manusia, kedua putra Fatimah juga memiliki kelemahan. Imam Hasan dengan ketampanan wajah dan kebagusan tubuhnya dan kelemahlembutan perilaku dan tutur kata, membuat ia sangat dicintai perempuan. Hal ini membuat ia banyak melakukan kawin cerai. Imam Husen dengan sikapnya yang tegas, tidak kenal kompromi terhadap kesalahan dan dosa, ketaatannya terhadap nilai dan prinsip ilmu, membuat ia banyak tidak disukai orang. Namun kelebihan mereka dalam iman, ilmu, dan amal saleh, membuat kelemahan-kelemahan keduanya tertutupi dengan sendirinya.
Fatimah az-Zahrah RA, ibunda mereka, menjadi sosok perempuan – ibu – dan istri yang dimuliakan, dihormati, dan diteladani perilakunya oleh seluruh kaum muslim di masanya. Meskipun Imam Ali terkenal memiliki ketinggian ilmu dan ketakwaan yang tak tertandingi di kalangan sahabat Rasulullah, tapi dalam pembinaan dan pembentukan akhlak dan pendidikan agama, ia harus mengakui kelebihan istrinya.
Dalam banyak literatur Islam tentang peran perempuan (istri dan ibu) sebagai peletak dasar-dasar pendidikan akhlak dan ilmu agama, kehidupan Fatimah az-Zahra dijadikan sumber rujukan dan contoh.Hal ini tidak berlebihan, beliau adalah putri Rasulullah yang menerima pendidikan langsung dari ayahnya yang mulia.
Sederet penjelasan tentang kehormatan dan kemuliaan keluarga Ahlul Bait di atas, tidak lahir dari harta dan kekuasaan. Tetapi dari ketaatan dan ketakwaan, kemuliaan akhlak, serta kecerdasan ilmu. Seorang ibu yang memiliki ketiga sifat ini dalam dirinya, dijamin akan melahirkan anak-anak yang mencintai Allah dan menabur kebaikan bagi orang lain. Dalam konteks ini, takhta atau kekuasaan dimaksudkan sebagai kemampuan perempuan menggunakan kelebihan-kelebihan kodratinya melahirkan dan memelihara calon-calon pemimpin, serta menjadi pemimpin yang ber-akhlaqulkarimah.
Kalau dipikir, Fatimah az-Zahrah bisa saja menjadi Khalifah sepeninggal ayahnya, Rasulullah. Beliau memiliki ilmu dan kecakapan lebih tinggi dari suaminya. Ia  akan ditopang oleh suaminya, sahabat-sahabat Rasulullah menyayanginya, dan dimuliakan oleh seluruh umat muslim. Kakek, ayah,dan suaminya berasal dari dua suku besar yang menjadi bangsawan terkemuka dan pemilik hak waris pemegang kunci Ka’bah. Belum ditambah lagi dengan bantuan dua anak lelakinya yang dikenal sebagai “pemuda yang wajahnya dirindukan surga”.
Lalu kenapa Fatimah az-Zahrah tidak berpikir atau tidak memajukan dirinya sebagai pemimpin – Khlaifah?Terlepas dari ketetapan Allah atas dirinya, juga dari sistim patriarkhi yang menjadi budaya bangsa Arab, di sinilah sebenarnya bagian yang harus membuat setiap pribadi muslim berpikir dan merenungi pesannya.
Kita tahu bahwa setelah wafatnya Rasulullah, masa kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq RA, Umar bin Khattab RA, Usman bin Affan RA, Ali bin Abi Thalib RA, hingga Mu’awiyah RA, senantiasa diselimuti fitnah, konflik, penyebaran aib, makar, hingga pembunuhan. Ini menjadikan sejarah Islam paska Rasulullah, tidak memiliki kejadian pilu dan menyedihkan tentang sosok seorang muslimah pemimpin. Muslimah pada generasi ini memberikan keharuman perilaku tanpa cacat cela ke seluruh penjuru dunia.
Apakah perempuan pada jaman Rasulullah dan sahabatnya tidak menjadi pemimpin, atau dilarang menjadi pemimpin? Sama sekali tidak demikian. Sebaliknya kejadian ini oleh para musuh-musuh Islam dan kalangan liberalis dianggap sebagai praktik dan bentuk diskriminasi dan pelecehan terhadap hak-hak perempuan.
Sekali lagi, Islam tidak melarang perempuan menjadi pemimpin, memiliki kekuasaan dan harta. Musuh sejati perempuan adalah dirinya sendiri: Fitnah yang bersumber dari kelebihan perasaandan bentuk fisiknya. Olehnya, Allah memberikan peringatan dalam urusan ini. Banyak musuh Islam mengatakan,“ajaran Islam merendahkan martabat perempuan atau tidak memerdekakan perempuan sesuai hak-hak kemanusiaannya”.
Pernyataan di atas, saya jawab dengan pertanyaan, “agama atau kepercayaan mana di yang di dalam kitab suci dan ajaran agamanya tertulis pemuliaan dan pengagungan derajat perempuan? Hanya di dalam Al Qur’an dan ajaran Islam, hak-hak perempuan tertulis jelas dan mendapatkan tempat terhormat.
Kesalahan kebanyakan terjadi dalamaspek ini, lebih disebabkan oleh kekeliruan penafsiran ayat Al Qur’an danhadist. Latar belakangnya sudah tentu faktor budaya, lingkungan tempat tinggal, dan tingkat kepahaman penafsir. Saya berikan satu bentuk persamaan hak (dan kewajiban) perempuan dan laki-laki yang dinyatakan oleh Allah secara tegas didalam Al Qur’an:
  1. “Dan orang-orang yang beriman,lelaki dan perempuan, setengahnya menjadi penolong bagi setengahnya yang lain;”(QS. At-Taubah : 71)
  2. “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”  (QS. An-Nahl : 97).
  3. “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidakdianiaya walau sedikit pun.” (QS. Al-Nisa’: 124).
Tanpa harus saya berikanpenjelasan dan penafsiran panjang lebar, ketiga ayat di atas sudah memberikan pesan jelas, bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama atas hartadan kekuasaan – takhta. Yang membedakan, hanya iman dan amal saleh.
Bila seorang lelaki sholeh menjadi pemimpin, dan istrinya berperilaku buruk, maka ia akan menjadi buruk pada akhirnya. Bila seorang lelaki buruk menjadi pemimpin, dan istrinya berperilaku baik, maka ia akan menjadi baik pada akhirnya. Demikian besarnya kekuatanperempuan mempengaruhi lelaki. Hingga ada ungkapan populis yang berbunyi, “Di balik kehidupan seorang lelaki yang sukses, di pasti pasti terdapat seorang perempuan hebat yang mendukungnya.”
Menyangkut takhta atau kekuasaandan kewenangan, besar kecenderungan, perempuan menggunakannya untuk menyalurkan perasaannya. Banyak perempuan sulit menempatkan diri berdasarkan status dan peran sosial yang diembannya. Terlebih ketika ia menjadi tokoh publik dan beraktifitas dalam ruang publik. Sering terjadi, penggabungan naluri seorang ibu dan istri ketika memimpin banyak orang. Padahal yang harus mengemuka dan menjadi panglima adalah prinsip-prinsip manajerial dan tata aturan yang telah disepakati bersama.
Harta dan takhta, dalam pandangan Islam, selalu memunculkan dua pertanyaan mendasar: Dari mana – bagaimana memperolehnya, dan untuk apa digunakan. Pertanyaan ini tidak hanya untuk perempuan, tapi juga lelaki. Bisa jadi keduanya diperoleh secara benar – halal, tapi penggunaannya salah. Atau sebaliknya.
Seluruh penjelasan di atas, memiliki batasan tipis dan halus. Juga terkesan subjektif. Bisa jadi tidak berlaku umum. Namun saya ingin memberikan pesan, bagaimana perbedaan pemahaman yang umumnya terjadi antara perempuan dan lelaki tentang arti harta dan takhta. Simpulannya, hartadan takhta, bila tidak dimaknai sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka akan mendatangkan fitnah dan menjadi bencana bagi pemiliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar